kata ‘sosialita’ sendiri dulu maknanya adalah wanita kalangan jet set yang rutin berpartisipasi di acara-acara sosial seperti derma kepada kaum papa. Namun disayangkan sekarang maknanya bergeser jadi kaum ibu-ibu kalangan jet set yang suka berkumpul bersama. Kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai ibu rumah tangga, namun jadwal mereka sungguh padat tak ubahnya wanita bisnis. Hari ini arisan, sore nanti ke salon, malam ini si Bu ANU ulang tahun dan dinner di hotel B. Begitu kira-kira.
Lalu ada istilah lain yaitu ‘social climber’, yang mana artinya orang bukan dari kalangan jet-set tapi berupaya bergabung dengan kaum high-end ini. Tentu tak mudah, karena kalangan sosialita tidak begitu saja menerima anggota baru.
Sangat disayangkan jika sosialita-sosialita ini menghabiskan uangnya untuk foya-foya, lebih baik untuk membantu kaum yang membutuhkan
“…menciptakan kesenjangan ekonomi yang semakin jauh..” Memang sebuah ironi melihat tayangan ini, di satu tempat para ibu-ibu muda nan jelita ini tertawa riuh dan berfoto bersama. di tempat lain diperlihatkan orang-orang yang tidak mampu, mungkin untuk makan besok aja mikir gimana duitnya.
bicara sosialita tidak lepas dari fenomena sebuah tas. Yakk apalagi kalo bukan Birkin dan Kelly dari Hermes.
Lalu keranjingan dan membeli beberapa. Padahal dia mengaku bahwa harganya terlalu mahal dan sebenarnya tidak sepadan dengan kualitasnya, hanya menang merk. Kulitnya, bahannya, hampir sama dengan tas-tas lain dengan harga di bawahnya. Tau kan, Hermes harganya bisa ratusan juta rupiah? Blom lagi yang limited edition.
Aku salut dengan salah seorang artis kita. Dia pernah berkata: “Aku ngga perna beli berlian ato tas bermerk. Bayangkan aja, harga satu tas Rp 60 juta. Itu ngga penting buat aku. Itu bisa buat beasiswa beberapa anak setahun. Nggak make sense banget.” (Cinta Laura, Jawapos 20 Juni 2011). Dia menyumbangkan penghasilannya ke yayasan ibunya, yang kegiatannya membangun sekolah-sekolah rusak, total ada 11 sekolah yang sudah dibangun.
Pernah nonton Machine Gun Preacher? Disitu seorang evangelist yang berjuang mati-matian membangun tempat perlindungan untuk anak-anak di Sudan. Dia menjual bisnisnya, menguras smua tabungannya, demi mendanai camp yang dibangunnya di Sudan. Di satu scene, dia marah besar kepada putrinya ketika putrinya meminta ijin untuk patungan dengan teman-temannya menyewa limousin untuk acara prom night nya. “Anak-anak di Sudan itu membutuhkan uang, dan kamu mau menghamburkannya untuk sebuah limo?”, bentak ayahnya.
Menurutku sah-sah saja orang mau beli tas merk, sepatu puluhan juta, mobil mewah, kalo memang orang itu sangat luber kekayaannya sampai tidak tahu lagi mau dipakai apa. Tapi aku menyayangkan banyak orang terutama generasi muda, giat menabung dan berhemat dengan tujuan untuk beli tas puluhan juta. Orang-orang ini membeli tas hanya untuk menunjukkan status sosialnya, menaikkan derajatnya, dan untuk memuaskan gengsinya di kalangan teman-temannya. Singkat kata: untuk pamer.
Kata-kata Cinta Laura dan si Evangelist tadi membuatku merenung, buat apa sih kita menggelontorkan duit 30 juta untuk sebuah tas? Masih banyak anak-anak di Ethiopia yang makan saja tidak bisa. Kita ini sudah beruntung punya rumah, bisa makan dan hidup secara layak. Tulisan ini sekaligus untuk mengingatkan aku, saat nanti aku kaya raya luber kemana-mana *ngarepdotcom*, hendaknya aku ingat bahwa diluar sana masih banyak anak yang kurang beruntung. Use your money wisely. We are blessed to bless.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar