A.PENGANTAR
1. PSIKOLOGI
MANAJEMEN
Psikologi
manajemen adalah ilmu tentang bagaimana mengatur / me-manage sumber daya yang
ada untuk memenuhi kebutuhan. Sebagai ilustrasi, Dulu dalam manajemen, orang berproduksi hanya mengandalkan sumber daya alam.
Misalnya, orang berburu, memancing atau memetik hasil hutan saja untuk memenuhi
keperluannya. Tetapi lama-kelamaan mulai terasa bahwa dengan menambahkan sumber
daya manusia (terutama akalnya), maka orang akan bisa lebih efektif dan efisien
dalam berproduksi. Maka mulailah dikenal pertanian, peternakan dan upaya budi
daya sumber-sumber alam lainnya.
Setelah itu, timbul lagi kebutuhan akan modal, karena dengan investasi dana
tertentu, akan bisa dibuat alat tertentu untuk lebih meningkatkan lagi
efisiensi dan efektivitas produksi. Maka sejak zaman revolusi industri, tiga
modal kerja yang utama adalah SDA (Sumber Daya Alam), SDU (Uang) dan SDM
(Manusia), dan ilmu manajemen pun berkisar pada upaya untuk mengoptimalkan
kinerja antar ketiga modal kerja itu.
Kaitannya dengan psikologi:
Dengan ditemukan dan dikembangkannya ilmu psikologi, diketahui bahwa unsur SDM
ternyata merupakan yang terpenting dari ketiga modal kerja perusahaan manapun.
Pasalnya, ilmu psikologi yg memang berpusat pada manusia, mampu mengintervensi
berbagai faktor internal manusia seperti motivasi, sikap kerja, keterampilan,
dsb dengan berbagai macam teknik dan metode, sehingga bisa dicapai kinerja SDM
yang setinggi-tingginya untuk produktivitas perusahaan.
Kegiatan intervensi (yg bertujuan untuk "mengolah" manusia) inilah yg
menjadi titik tolak dari kajian ilmu psikologi manajemen. Hal ini bertujuan
agar seluruh kayawan / SDM dari suatu organisasi/perusahaan mengerti betul akan
tugasnya, mampu memberikan informasi kepada pelanggan atau rekan sekerjanya,
dan pada akhirnya membuat karyawan itu senang pada pekerjaan dan perusahaannya.
2. KEPEMIMPINAN
Kepemimpinan adalah
proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya
mencapai tujuan organisasi.[ Caraalamiah mempelajari
kepemimpinan adalah "melakukannya dalam kerja" dengan praktik seperti
pemagangan pada seorang seniman ahli, pengrajin, atau praktisi. Dalam hubungan
ini sang ahli diharapkan sebagai bagian dari peranya memberikan
pengajaran/instruksi.
Kebanyakan
orang masih cenderung mengatakan bahwa pemimipin yang efektif mempunyai sifat
atau ciri-ciri tertentu yang sangat penting misalnya, kharisma, pandangan ke
depan, daya persuasi, dan intensitas.
Dan memang, apabila kita berpikir tentang pemimpin yang heroik seperti
Napoleon, Washington, Lincoln, Churcill, Sukarno, Jenderal Sudirman, dan
sebagainya kita harus mengakui bahwa sifat-sifat seperti itu melekat pada diri
mereka dan telah mereka manfaatkan untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan.
Kepemimpinan yang Efektif
Barangkali
pandangan pesimistis tentang keahlian-keahlian kepemimpinan ini telah
menyebabkan munculnya ratusan buku yang membahas kepemimpinan. Terdapat nasihat tentang siapa yang
harus ditiru (Attila the Hun), apa yang harus diraih (kedamaian jiwa), apa yang
harus dipelajari (kegagalan), apa yang harus diperjuangkan (karisma),
perlu tidaknya pendelegasian (kadang-kadang),
perlu tidaknya berkolaborasi (mungkin),
pemimpin-pemimpin rahasia Amerika (wanita), kualitas-kualitas pribadi dari
kepemimpinan (integritas), bagaimana meraih kredibilitas (bisa dipercaya),
bagaimana menjadi pemimipin yang otentik (temukan pemimpin dalam diri anda),
dan sembilan hukum alam kepemimpinan (jangan tanya). Terdapat lebih dari 3000
buku yang judulnya mengandung kata pemimipin (leader). Bagaimana
menjadi pemimpin yang efektif tidak perlu diulas oleh sebuah buku. Guru
manajeman terkenal, Peter Drucker, menjawabnya hanya dengan beberapa kalimat:
"pondasi dari kepemimpinan yang efektif adalah berpikir berdasar misi
organisasi, mendefinisikannya dan menegakkannya, secara jelas dan nyata.
Kepemimpinan
Karismatik
Max
Weber, seorang sosiolog, adalah ilmuan pertama yang membahas kepemimpinan karismatik.
Lebih dari seabad yang lalu, ia mendefinisikan karisma (yang berasal dari
bahasa Yunani yang berarti "anugerah") sebagai "suatu sifat
tertentu dari seseorang, yang membedakan mereka dari orang kebanyakan dan
biasanya dipandang sebagai kemampuan atau kualitas supernatural,
manusia super, atau paling tidak daya-daya istimewa. Kemampuan-kemampuan ini
tidak dimiliki oleh orang biasa, tetapi dianggap sebagai kekuatan yang
bersumber dari yang Ilahi, dan berdasarkan hal ini seseorang kemudian dianggap
sebagai seorang pemimpin.
3. TEORI
KEPEMIMPINAN FIEDLER “Contingency Theory”
Teori
kontingensi menganggap bahwa kepemimpinan adalah suatu proses di mana kemampuan
seorang pemimpin untuk melakukan pengaruhnya tergantung dengan situasi tugas
kelompok (group task situation) dan tingkat-tingkat daripada gaya
kepemimpinannya, kepribadiannya dan pendekatannya yang sesuai dengan
kelompoknya. Dengan perkataan lain, menurut Fiedler, seorang menjadi pemimpin
bukan karena sifat-sifat daripada kepribadiannya, tetapi karena berbagai faktor
situasi dan adanya interaksi antara Pemimpin dan situasinya.
Model
Contingency dari kepemimpinan yang efektif dikembangkan oleh Fiedler (1967) .
Menurut model ini, maka the performance of the group is contingen upon both the
motivasional system of the leader and the degree to which the leader has
control and influence in a particular situation, the situational favorableness
(Fiedler, 1974:73).
Dengan
perkataan lain, tinggi rendahnya prestasi kerja satu kelompok dipengaruhi oleh
sistem motivasi dari pemimpin dan sejauh mana pemimpin dapat mengendalikan dan
mempengaruhi suatu situasi tertentu.
Untuk
menilai sistem motivasi dari pemimpin, pemimpin harus mengisi suatu skala sikap
dalam bentuk skala semantic differential, suatu skala yang
terdiri dari 16 butir skala bipolar. Skor yang
diperoleh menggambarkan jarak psikologis yang dirasakan oleh peminpin antara
dia sendiri dengan “rekan kerja yang paling tidak disenangi” (Least Prefered
Coworker = LPC). Skor LPC yang tinggi menunjukkan bahwa pemimpin melihat rekan
kerja yang paling tidak disenangi dalam suasana menyenangkan. Dikatakan bahwa
pemimpin dengan skor LPC yang tinggi ini berorientasi ke hubungan (relationship
oriented). Sebaliknya skor LPC yang rendah menunjukkan derajat kesiapan
pemimpin untuk menolak mereka yang dianggap tidak dapat bekerja sama. Pemimpin
demikian, lebih berorientasi ke terlaksananya tugas (task oriented). Fiedler
menyimpulkan bahwa:
1.
Pemimpin dengan skor LPC rendah (pemimpin yang berorientasi ke tugas) cenderung
untuk berhasil paling baik dalam situasi kelompok baik yang menguntungkan,
maupun yang sangat tidak menguntungkan pemimpin.
2.
Pemimpin dengan skor LPC tinggi ( pemimpin yang berorientasi ke hubungan)
cenderung untuk berhasil dengan baik dalam situasi kelompok yang sederajat
dengan keuntungannya.
Sebagai landasan studinya, Fiedler menemukan 3 (tiga) dimensi kritis daripada
situasi / lingkungan yang mempengaruhi gaya Pemimpin yang sangat efektif,
yaitu:
a.
Kekuasaan atas dasar kedudukan/jabatan (Position power)
Kekuasaan atas dasar kedudukan / jabatan ini berbeda dengan sumber kekuasaan
yang berasal dari tipe kepemimpinan yang kharismatis, atau keahlian (expertise
power). Berdasarkan atas kekuasaan ini seorang pemimpin mempunyai
anggota-anggota kelompoknya yang dapat diperintah / dipimpin, karena ia
bertindak sebagai seorang Manager, di mana kekuasaan ini diperoleh berdasarkan
atas kewenangan organisasi (organizational authority).
b.
Struktur tugas (task structure)
Pada dimensi ini Fiedler berpendapat bahwa selama tugas-tugas dapat diperinci
secara jelas dan orang-orang diberikan tanggung jawab terhadapnya, akan
berlainan dengan situasi di mana tugas-tugas itu tidak tersusun (unstructure)
dan tidak jelas. Apabila tugas-tugas tersebut telah jelas, mutu daripada penyelenggaraan
kerja akan lebih mudah dikendalikan dan anggota-anggota kelompok dapat lebih
jelas pertanggungjawabannya dalam pelaksanaan kerja, daripada apabila
tugas-tugas itu tidak jelas atau kabur.
c.
Hubungan antara Pemimpin dan anggotanya (Leader-member relations)
Dalam dimensi ini Fiedler menganggap sangat penting dari sudut pandangan
seorang pemimpin. Kekuasaan atas dasar kedudukan / jabatan dan struktur tugas
dapat dikendalikan secara lebih luas dalam suatu badan usaha / organisasi
selama anggota kelompok suka melakukan dan penuh kepercayaan terhadap
kepimpinannya (hubungan yang baik antara pemimpin-anggota).
Berdasarkan
ketiga variabel ini Fiedler menyusun delapan macam situasi kelompok yang
berbeda derajat keuntungannya bagi pemimpin. Situasi dengan dengan derajat
keuntungan yang tinggi misalnya adalah situasi dimana hubungan pemimpin-anggota
baik, struktur tugas tinggi, dan kekuasaan kedudukan besar. Situasi yang paling
tidak menguntungkan adalah situasi dimana hubungan pemimpin-anggota tidak baik,
struktur tugas rendah dan kekuasaan kedudukan sedikit.
4. KEPEMIMPINAN
NORMATIV MENURUT “VROOM&YETTON
Model ini melihat teori kepemimpinan yang menyediakan seperangkatperaturan untuk
menetapkan bentuk dan jumlah peserta pengambil keputusan dalam berbagai
keadaan. Teori Yetton dan Vroom mengemukakan bahwa kepuasan dan prestasi
disebabkan oleh perilaku bawahan yang pada gilirannya dipengaruhi oleh perilaku
atasan karakteristik bawahan dan faktor lingkungan.
Sebagaimana
telah kita pahami bahwa partisipasi bawahan dalam pengambilan keputusan
dapat meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi stress, dan meningkatkan
produktivitas.Namun seberapa jauh partisipasi bawahan dalam pengambilan
keputusan akan diberikan pemimpinnya? Jawabannya adalah Normative Theory dari
Vroom and Yetton.
Vroom
dan Yetton (1973) mengembangkan model kepemimpinan normatif dalam 3 kunci utama:
metode taksonomi kepemimpinan,atribut-atribut permasalahan, dan pohon keputusan
(decision tree).
Lima tipe
kunci metode kepemimpinan yang teridentifikasi (Vroom & Yetton, 1973)
1.
Autocratic I: membuat keputusan dengan menggunakan informasi yang saat ini
terdapat pada pemimpin.
2. Autocratic
II: membuat keputusan dengan menggunakan informasi yang terdapat pada seluruh
anggota kelompok tanpa terlebih dahulu menginformasikan tujuan dari penyampaian
informasi yang mereka berikan.
3.
Consultative I: berbagi akan masalah yang ada dengan individu yang relevan,
mengetahui ide-ide dan saran mereka tanpa melibatkan mereka ke dalam kelompok;
lalu membuat keputusan.
4.
Consultative II: berbagi masalah dengan kelompok, mendapatkan ide-ide dan saran
mereka saat diskusi kelompok berlangsung, dan kemudian membuat keputusan.
5. Group
II: berbagi masalah yang ada dengan kelompok, mengepalai diskusi kelompok,
serta menerima dan menerapkan keputusan apapun yang dibuat oleh kelompok.
5. PATH
& HOAL TEORI DALAM KEPEMIMPINAN
Path-Goal
Theory atau model arah tujuan ditulis oleh House (1971) menjelaskan kepemimpinan
sebagai keefektifan pemimpin yang tergantung dari bagaimana pemimpin
memberi pengarahan, motivasi, dan bantuan untuk pencapaian tujuan para
pengikutnya.
Menurut
teori path-goal, suatu perilaku pemimpin dapat diterima oleh bawahan
pada tingkatan yang ditinjau oleh mereka sebagai sebuah sumber kepuasan saat
itu atau masa mendatang. Perilaku pemimpin akan memberikan motivasi sepanjang membuat
bawahan merasa butuh kepuasan dalam pencapaian kinerja yang efektif, dan menyediakan
ajaran, arahan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan dalam kinerja efektif
(Robins, 2002).
Menurut
model ini, pemimpin menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang
positif, kemampuan untuk melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya. Teorinya
disebut sebagai path-goal karena memfokuskan pada bagaimana pimpinan
mempengaruhi persepsi pengikutnya pada tujuan kerja, tujuan pengembangan diri,
dan jalan untuk menggapai tujuan.
Model path-goal menganjurkan
bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar:
Fungsi
Pertama; adalah memberi kejelasan alur. Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu
membantu bawahannya dalam memahami bagaimana cara kerja yang diperlukan di dalam
menyelesaikan tugasnya.
Fungsi
Kedua; adalah meningkatkan jumlah hasil (reward)bawahannya dengan memberi
dukungan dan perhatian terhadap kebutuhan pribadi mereka.
CR: